Dalam kehidupan suatu negara pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan yang berat terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi dan efisiensi pendidikan.
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Sebenarnya berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, antara lain melalui berbagai latihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan seperti kualitas outputnya belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input output analisis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataannya, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga adalah peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih bersifat dukungan financial (keuangan) dan bukan pada proses pendidikan mulai dari pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi dan akuntabilitas. Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada proses dan manajemen sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, diantaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional. Penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat, penyusunan standar pembaharuan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah.
Meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan adanya sistem pendidikan dan kurikulum yang bersifat fleksibel dan dinamis serta mampu mengakomodasi keanekaragaman kemampuan siswa, potensi daerah, kualitas sumber daya manusia, sarana pembelajaran dan kondisi sosial budaya.
Kurikulum tahun 1994, masih bersifat nasional, sarat materi, sebagian materi tumpang tindih pada tingkat pendidikan yang berbeda, sehingga sebagian kegiatan pembelajaran kurang bermakna bagi siswa.
Berdasarkan permasalahan diatas, Ketetapan MPR No. IV/1999 bidang pendidikan menyatakan perlunya dilakukan pembaharuan sistem pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah, perlu pembenahan kurikulum yang dapat mengakomodasi diversifikasi potensi sumber daya di masing-masing daerah. Untuk itu disusunlah kurikulum yang berbasis kompetensi yang lebih fleksibel dan dinamis.
Dalam kurikulum ini pemerintah pusat menentukan standar kompetensi umum secara nasional yang berlaku di seluruh daerah, sedangkan daerah diberi kekuasaan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik masing masing.
Melihat begitu kompleks dan rumitnya persoalan pendidikan yang ada dibalik rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, maka diperlukan upaya yang sungguh sungguh untuk mengurangi dan menyelesaikan persoalan pendidikan secara menyeluruh (komprehensif) dengan melihat seluruh komponen masyarakat (stakeholder). Untuk itu dibutuhkan visi dan misi yang jelas.sehingga mampu memberi arahan kebijakan secara menyeluruh tentang apa yang hendak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Upaya mewujudkan pendidikan yang bermutu sesuai dengan perkembangan IPTEK dan globalisasi, berdasarkan Ketetapan MPR No IV/1999 Bidang Pendidikan menyatakan perlunya dilakukan pembaharuan sistem pendidikan dan peraturan pemerintah No. 22 tahun 2000 tentang otonomi daerah. Dalam kerangka otonomi pendidikan Depdiknas mengembangkan suatu pola Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai entry point menuju pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan mendasarkan kepada empat aspek yaitu demokrasi, transformasi, berkelanjutan dan akuntabilitas.
Disamping itu perlu pembenahan kurikulum yang dapat mengakomodasi potensi sumber daya di masing masing daerah, maka disusunlah kurikulum yang berbasis kompetensi yang lebih fleksibel dan dinamis. Dalam kurikulum ini pemerintah pusat menentukan standar kompetensi umum secara nasional yang berlaku di seluruh daerah, sedangkan daerah diberi kekuasaan untuk mengembangkan kerikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing masing.
Penilaian dikembangkan dengan sistem penilaian yang berbasis portofolio (portofolio based assessment) yaitu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala, pengembangan wawasan pengetahuan, sikap dan ketrampilan peserta didik yang bersumber dari catatan dan dokumentasi pengalaman belajarnya.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Strategi Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di SMP Negeri 1 Wates Kediri.
0 Response to "STRATEGI PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DI SMP NEGERI I WATES KEBUPATEN KEDIRI (PEND-2)"
Post a Comment