Pengembangan pendidikan adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dan mempertahankan keseimbangan ekonomi. Sehubungan dengan pengembangan pendidikan untuk peningkatan kualitas, adalah proses kontekstual, sehingga kesetaraan pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat (Hasbullah, 1999: 63).
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 3 menyebutkan dengan tegas bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Menurut Mohamad Surya, saat ini pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi kritis. Ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis nasional sekarang ini bersumber dari bidang pendidikan, dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru. (2005:1). Guru merupakan subjek utama dan pertama dalam proses pendidikan di lapis terdepan. Membenahi pendidikan nasional harus dimulai dari unsur guru. (Moh. Surya, 2005:2).
Guru merupakan komponen pendidikan terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan. Dalam kaitan ini, yang dapat memperbaiki situasi pendidikan pada akhirnya berpulang kepada guru yang sehari-hari bekerja di lapangan. (Abuddin, 2001:132).
Dengan demikian, untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia, perlu dikaji eksistensi guru sebagai current issue. Guru merupakan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa). (A. Tafsir, 1992:74-75).
Menurut Balitbang Depdiknas (dalam A. Amiruddin, 2003:50), lebih dari 30 persen guru yang ada sekarang ini sebenarnya tidak layak untuk mengajar. Mungkin menjadi pendidik karena sulit mencari pekerjaan yang lain, atau karena koneksi. Mereka sebenarnya tidak terpanggil untuk menjadi pendidik, namun hanya karena keterpaksaan. (Mukhtar, 2003:85-86). Dengan keadaan demikian, akan melahirkan komitmen yang rendah dari guru terhadap sekolahnya. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. (M. Surya, 2005:4).
Rata-rata pendidikan mereka berada di bawah standar (under-qualified) dan guru “salah kamar” (mismatch), yaitu bidang studi yang diajarkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. (Qodri, 2003:60). Sebagian besar guru belum menguasai mata pelajaran yang mestinya menjadi bidang keahliannya, termasuk Pendidikan Agama Islam yang para gurunya masih belum seluruhnya bisa menulis dan membaca al-Quran dengan benar dan baik. (Muhaimin, 2006:79). Sistem pendidikan guru, masih belum memberikan jaminan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan berkewenangan, di samping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik, dan kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan (M. Surya, 2005:6).
Lingkungan adalah “the set of forces surrounding an organization that have the potential to affect the way it operates and its access to scarce resources”.(Jones, 2004:60).
Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan tersebut, seyogianya sedini mungkin semua potensi yang ada dikembangkan dan difungsikan secara maksimal, diintegrasikan melalui peran guru di sekolah. Salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan tersebut dapat ditempuh melalui guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Menurut SISDIKNAS pasal 37 disebutkan bahwa pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi (Depdiknas 2003). Dengan adanya kebijakan tersebut, pembelajaran PKn dapat digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. PKn merupakan pendidikan untuk membentuk karakter para peserta didik sebagai warga negara yang baik dan memiliki komitmen tinggi terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia, serta hak dan kewajiban warga negara khususnya hubungan dengan negara dan pendidikan bela negara. Materi pelajaran PKn Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditekankan pada pengamalan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang ditunjang oleh pengetahuan dan pengertian sederhana sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan selanjutnya. Dari sini terlihat bahwa materi dan lingkup PKn di SMP adalah berfungsi sebagai wahana untuk membentuk masyarakat yang cerdas, terampil, berkarakter yang baik, setia terhadap bangsa dan negara Indonesia, yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir serta bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945, kewajiban warga negara untuk kepentingan kehidupan sehari-hari dan sebagai dasar pendidikan di SMP.
Jabaran tujuan pembelajaran PKn di SMP perlu diwujudkan pula sebagai perilaku secara nyata (overt behavior), yang berarti bahwa konsep nilai yang diajarkan tidak boleh berhenti pada pikiran dan perkataan semata, tetapi harus terwujudkan dalam perbuatan nyata. Untuk itu, pembelajaran PKn menuntut terwujudkannya semua dimensi belajar, yakni belajar kognitif, afektif, dan psikomotorik, belajar nilai dan sikap yang tidak dipisah-pisahkan, tetapi melalui proses pendidikan yang terpadu utuh, sehingga diperlukan persiapan guru secara profesional untuk suatu perwujudan bahwa nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif), tetapi dihayati (bersifat afektif), dan dilaksanakan (bersifat psikomotorik/ perilaku).
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Menurut Mohamad Surya, saat ini pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi kritis. Ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis nasional sekarang ini bersumber dari bidang pendidikan, dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru. (2005:1). Guru merupakan subjek utama dan pertama dalam proses pendidikan di lapis terdepan. Membenahi pendidikan nasional harus dimulai dari unsur guru. (Moh. Surya, 2005:2).
Guru merupakan komponen pendidikan terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan. Dalam kaitan ini, yang dapat memperbaiki situasi pendidikan pada akhirnya berpulang kepada guru yang sehari-hari bekerja di lapangan. (Abuddin, 2001:132).
Dengan demikian, untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia, perlu dikaji eksistensi guru sebagai current issue. Guru merupakan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa). (A. Tafsir, 1992:74-75).
Menurut Balitbang Depdiknas (dalam A. Amiruddin, 2003:50), lebih dari 30 persen guru yang ada sekarang ini sebenarnya tidak layak untuk mengajar. Mungkin menjadi pendidik karena sulit mencari pekerjaan yang lain, atau karena koneksi. Mereka sebenarnya tidak terpanggil untuk menjadi pendidik, namun hanya karena keterpaksaan. (Mukhtar, 2003:85-86). Dengan keadaan demikian, akan melahirkan komitmen yang rendah dari guru terhadap sekolahnya. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. (M. Surya, 2005:4).
Rata-rata pendidikan mereka berada di bawah standar (under-qualified) dan guru “salah kamar” (mismatch), yaitu bidang studi yang diajarkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. (Qodri, 2003:60). Sebagian besar guru belum menguasai mata pelajaran yang mestinya menjadi bidang keahliannya, termasuk Pendidikan Agama Islam yang para gurunya masih belum seluruhnya bisa menulis dan membaca al-Quran dengan benar dan baik. (Muhaimin, 2006:79). Sistem pendidikan guru, masih belum memberikan jaminan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan berkewenangan, di samping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik, dan kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan (M. Surya, 2005:6).
Lingkungan adalah “the set of forces surrounding an organization that have the potential to affect the way it operates and its access to scarce resources”.(Jones, 2004:60).
Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan tersebut, seyogianya sedini mungkin semua potensi yang ada dikembangkan dan difungsikan secara maksimal, diintegrasikan melalui peran guru di sekolah. Salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan tersebut dapat ditempuh melalui guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Menurut SISDIKNAS pasal 37 disebutkan bahwa pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi (Depdiknas 2003). Dengan adanya kebijakan tersebut, pembelajaran PKn dapat digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. PKn merupakan pendidikan untuk membentuk karakter para peserta didik sebagai warga negara yang baik dan memiliki komitmen tinggi terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia, serta hak dan kewajiban warga negara khususnya hubungan dengan negara dan pendidikan bela negara. Materi pelajaran PKn Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditekankan pada pengamalan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang ditunjang oleh pengetahuan dan pengertian sederhana sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan selanjutnya. Dari sini terlihat bahwa materi dan lingkup PKn di SMP adalah berfungsi sebagai wahana untuk membentuk masyarakat yang cerdas, terampil, berkarakter yang baik, setia terhadap bangsa dan negara Indonesia, yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir serta bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945, kewajiban warga negara untuk kepentingan kehidupan sehari-hari dan sebagai dasar pendidikan di SMP.
Jabaran tujuan pembelajaran PKn di SMP perlu diwujudkan pula sebagai perilaku secara nyata (overt behavior), yang berarti bahwa konsep nilai yang diajarkan tidak boleh berhenti pada pikiran dan perkataan semata, tetapi harus terwujudkan dalam perbuatan nyata. Untuk itu, pembelajaran PKn menuntut terwujudkannya semua dimensi belajar, yakni belajar kognitif, afektif, dan psikomotorik, belajar nilai dan sikap yang tidak dipisah-pisahkan, tetapi melalui proses pendidikan yang terpadu utuh, sehingga diperlukan persiapan guru secara profesional untuk suatu perwujudan bahwa nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif), tetapi dihayati (bersifat afektif), dan dilaksanakan (bersifat psikomotorik/ perilaku).
0 Response to "STRATEGI PENYAMPAIAN METODE CERAMAH DAN METODE DIALOG PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN MORALITAS SISWA (PEND-39)"
Post a Comment