BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah merupakan opini umum bahwa permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di antaranya melalui pengadaan buku dan alat pelajaran, berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian dilihat dari berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang adil (equity) dan merata (equality).
Pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia yang berkualitas yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Paradigma nasional Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjadi landasan dalam konsepsi dan pola pikir pengembangan kebijakan dan program pembangunan pendidikan nasional. Selain itu UU Sisdiknas, UU BHP, UU Guru dan Dosen, PP, Permen dan Perda menjadi landasan yuridisnya. Kebijakan dan program pembangunan pendidikan yang baik didasarkan pada data empirik yang ob yektif yang mudah dipahami, karena dari data obyektif dan mudah dipahami akan melahirkan perencanaan yang baik, perencanaan yang baik akan membuat target yang baik, dan target yang baik perlu dipertajam dengan strategi. Strategi yang visibel akan memudahkan untuk terlaksananya program kegiatan yang baik, keterlaksanaan program yang baik akan memudahkan dalam monitoring dan evaluasi yang benar. Kemudahan dan kebenaran dalam monitoring serta evaluasi akan melahirkan laporan yang akuntabel.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Umaedi, 1999).
Salah satu faktor penentu dalam menunjang keberhasilan peningkatan mutu pendidikan adalah guru (pendidik). Guru merupakan sumber daya manusia yang berada di front paling depan tempat saat terjadinya interaksi belajar mengajar. Hal itu mengandung makna bahwa upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dalam mengoptimalkan kinerja mengajar guru yakni dalam rangka melaksanakan tugas dan pekerjaannya, maka kepala sekolah yang berkualitas harus mampu mempengaruhi, menggerakkan, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintahkan, melarang, dan bahkan memberikan sanksi, serta membina dalam rangka mencapai kinerja sekolah secara efektif dan efisien. Melalui peningkatan kinerja mengajar guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, diharapkan prestasi kerja guru dapat mencapai hasil yang optimal.
Kinerja mengajar guru adalah kemampuan seorang guru untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu tugas guru menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XI, Pasal 39 Ayat (2) adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Kinerja guru melalui pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih anak didiknya diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Namun demikian kinerja seseorang banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berkenaan dengan hal tersebut Gibson et al. (1985:51-53) secara lebih komprehensif mengemukakan adanya tiga kelompok variabel sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kinerja dan potensi individu dalam organisasi, yaitu: pertama, Variabel individu, yang meliputi: (a) kemampuan/keterampilan; (b) latar belakang (keluarga, tingkat sosial, pengalaman). Kedua, Variabel Organisasi, yang meliputi: (a) sumber daya; (b) kepemimpinan; (c) imbalan; (d) struktur; (e) desain pekerjaan. Ketiga, Variabel Psikologis, meliputi: (a) mental/intektual; (b) persepsi; (c) sikap; (d) kepribadian; (e) belajar; (f) motivasi.
Untuk menjadi guru yang professional, guru harus memenuhi kualifikasi akademik minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar (UU No. 20 tahun 2003 pasal 42 dan PP No. 19 tahun 2005 Bab VI pasal 28). Program sertifikasi kepada guru akan menjadi kontrol yang mendorong para penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan profesionalismenya dan
memberikan layanan maksimal kepada para stakeholders. Gaffar (Sumaryani,
2008:5) mengemukakan bahwa “Sertifikasi dalam sistem pendidikan guru ialah proses pendidikan guru yang mencakup program D4, S1, dan pendidikan profesi”.
Hingga kini persoalan guru belum pernah terselesaikan secara tuntas. Persoalan guru di Indonesia terkait dengan masalah-masalah kualifikasi yang rendah, pembinaan yang terpusat, perlindungan profesi yang belum memadai dan persebarannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi (Purwanto, 2002), segala persoalan guru tersebut timbul oleh
karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi.
Kiranya data lebih 10 tahun lalu sebagaimana dilaporkan Bahrul Hayat dan Umar (Adiningsih: 2002), yang mengemukakan nilai rerata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100 masih dapat untuk menggambarkan kualitas calon guru saat ini, artinya mereka hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya dikuasai. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi fisika
(27,35%), biologi (44,96%), kimia (43,55%), dan bahasa Inggris (37,57%). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik. Temuan lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (Balitbang Depdiknas, 2000) yang memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Kondisi obyektif tersebut didukung fakta laporan Depdiknas (Dananjaya, 2005: 59), hanya 31% guru yang layak mengajar. Selain itu juga Ketua Umum PGRI periode 1998 – 2008, Prof. Dr. Moh. Surya Hadiyanto, 2002) menyatakan bahwa banyak guru SD hingga SLTA yang masih belum layak mengajar.
Harus diakui bahwa guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan. Meskipun fasilitas pendidikannya lengkap dan canggih, namun bila tidak ditunjang oleh keberadaan guru yang berkualitas, maka mustahil akan menimbulkan proses belajar dan pembelajaran yang maksimal (Neni Utami,
2003:1). Guru sebagai pelaksana pendidikan nasional merupakan faktor kunci. Guru merupakan sumber daya manusia yang mampu mendayagunakan faktor- faktor lainnya sehingga tercipta PBM yang bermutu dan menjadi faktor utama yang menentukan mutu pendidikan.
Dalam mencapai visi, misi dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bersama semua warga sekolah, dibutuhkan kondisi sekolah yang kondusif dan adanya keharmonisan antara guru, tenaga administrasi, siswa dan masyarakat yang masing-masing mempunyai peran yang cukup besar dalam mencapai tujuan organisasi.
Etos kerja dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang guru seyogyanya mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam meningkatkan manajemen mutu sekolah, selain kompetensi kepemimpinan kepala sekolah dan kebijakan kepala sekolah dalam memenej penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Etos kerja lebih merujuk kepada kualitas kepribadian yang tercermin melalui unjuk kerja secara utuh dalam berbagai dimensi kehidupannya.
Menurut Sinamo seperti yang dikutip oleh Andrias Harefa (2004:26) ada delapan rumusan etos kerja, yang meliputi: (1) kerja adalah rahmat; aku bekerja
tulus penuh syukur, (2) kerja adalah amanah; aku bekerja benar penuh tanggungjawab , (3) kerja adalah panggilan; aku bekerja tuntas penuh integritas, (4) kerja adalah aktualisasi; aku bekerja keras penuh semangat; (5) kerja adalah ibadah; aku bekerja serius penuh kecintaan, (6) kerja adalah seni; aku bekerja kreatif penuh suka cita, (7) kerja adalah kehormatan; aku bekerja tekun penuh keunggulan, (8) kerja adalah pelayanan; aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati.
Selain dari itu, optimalisasi pemberdayaan seluruh perangkat yang ada di sekolah merupakan alternatif yang paling tepat guna mewujudkan suatu sekolah yang mandiri dan memiliki keunggulan yang tinggi dalam pencapaian tujuan pendidikan. Perilaku kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu kunci utama dalam mengelola seluruh unsur yang ada di sekolah. Kepala sekolah merupakan manager pada organisasi kependidikan. Salah satu tugas kepala sekolah adalah memimpin seluruh aktifitas yang ada di sekolah agar mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Perilaku kepemimpinan kepala sekolah akan membawa arah dan tujuan yang dijadikan haluan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dengan demikian, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya kompetensi kepemimpinan kepala sekolah, sebagaimana seperti yang di syaratkan dalam Permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah. Kompetensi yang dimaksud adalah kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
Kinerja dan prestasi guru sebagai pendidik, tidak hanya dituntut dan dinilai oleh kepala sekolah sebagai pimpinan. Lebih jauh lagi prestasi dan kinerja guru harus dipertanggungjawabkan pada siswa, orang tua, dan masyarakat. Orang tua memberikan tanggung jawab kepada guru untuk mendidik dan membinan anaknya sesuai dengan tingkat usianya, agar kelak dikemudian hari mereka bisa menghadapi tantangan zaman, dengan kata lain agar para siswa mampu hidup bermasyarakat.
Kepercayaan masyarakat akan berkurang manakala kinerja mengajar guru mengalami penurunan kualitas. Masyarakat akan lebih percaya menitipkan anak- anaknya untuk dididik dan dibina di sekolah, jika terlihat prestasi dan kinerja mengajar guru di sekolah tersebut baik yang ditandai dengan memiliki keterampilan dan kemampuan sesuai dengan profesinya sebagai seorang pendidik.
Fenomena masih rendahnya kinerja mengajar guru diperoleh melalui hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis terhadap teman-teman guru yang diangkat kepala SMPN di kabupaten Majalengka melalui kegiatan wawancara dan hasil observasi perilaku kepemimpinan kepala sekolah SMPN di kabupaten
Majalengka.
Dari hasil wawancara informal dan pengamatan penulis terhadap teman sejawat sesama guru, di kabupaten Majalengka khususnya pada jenjang pendidikan dasar, kepemimpinan dan etos kerja guru merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam meningkatkan kinerja mengajar guru untuk mencapai kualitas pendidikan masing-masing sekolah. Selain itu, faktor internal guru yang berkaitan dengan profesionalisme, belum mencapai taraf yang optimal. Tugas profesi guru seperti, perencanaan, pelaksanaan, penilaian/evaluasi proses belajar mengajar; pelatihan guru yang belum banyak berkontribusi; pembinaan guru yang belum sistematik; etos kerja yang rendah; perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang “tidak tepat sasaran” akan menimbulkan kinerja mengajar yang tidak optimal. Akibatnya para guru tersebut kurang menunjukan motivasi kerja dan kinerja mengajar yang optimal dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai guru. Disamping itu, rendahnya suasana etos kerja di sekolah dan masih mempertahankan model suasana sekolah yang kurang memperhatikan nilai-nilai inti (misalnya rendahnya disiplin, sikap terhadap pekerjaan, kurang dedikasi dan loyalitas terhadap pekerjaan dan peraturan yang berlaku), serta munculnya budaya kurang peduli, akan berakibat mundurnya kualitas pendidikan suatu sekolah.
Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam melalui sebuah penelitian yang di fokuskan pada judul penelitian “Kontribusi Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Etos Kerja Guru terhadap Kinerja Mengajar Guru (Studi Deskriptif Analitik pada Guru SMP Negeri Se-Kabupaten Majalengka)”.
0 Response to "KONTRIBUSI PERILAKU KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN ETOS KERJA GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU (Studi Deskriptif Analitik pada Guru .(PEND-82)"
Post a Comment