PENGARUH PARTISIPASI PERUSAHAAN DAN KINERJA KOMITE SEKOLAH TERHADAP EFEKTIVITAS PENGELOLAAN SEKOLAH (Pend-97)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam dinamika pembangunan di Indonesia dewasa ini, salah satu isu yang selalu muncul adalah rendahnya mutu pendidikan. Gejala tentang rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dewasa ini semakin dirasakan sebagai topik pembicaraan di kalangan para teoritisi, praktisi, bahkan orang awam sekalipun. Dalam hal ini, setidaknya ada lima pandangan dalam melihat masalah mutu pendidikan yang muncul.


Pertama, mutu pendidikan dilihat dari prestasi belajar siswa yang mengukur pengetahuan kognitif. Dalam pandangan ini, mutu pendidikan ditentukan oleh struktur dasar keilmuan yang ketat. Pembakuan secara terpusat dilakukan mulai dari kurikulum, pokok bahasan, metode pengajaran, pengadaan sarana dan prasarana, sampai dengan evaluasi belajar, dengan maksud agar setiap materi kurikulum dapat diserap oleh siswa.


Pandangan kedua melihat mutu pendidikan dari prosesnya. Pandangan ini menganggap kurikulum tidak perlu terstruktur ketat, yang penting adalah siswa dapat secara aktif belajar. Adapun pandangan ketiga melihat mutu pendidikan dari masukannya seperti guru, alat-alat pelajaran, buku pelajaran, perpustakaan
dan prasarana pendidikan. Pandangan keempat melihat mutu pendidikan dari

efektivitas dan efisiensi pengelolaan satuan pendidikan. Terakhir, mutu pendidikan dilihat dari relevansinya dengan dunia kerja.
Sorotan terhadap mutu pendidikan memang sangat logis. Sorotan terhadap relevansi pendidikan sebagai cerminan dari mutu pendidikan yang rendah setidaknya disebabkan oleh dua alasan. Pertama, praktik pendidikan yang dirasakan selama ini terlalu teoretis dan kurang sinergis. Meminjam istilah yang dikemukakan Sasongko (2002), pendidikan kurang membumi dalam praktik kehidupan nyata. Pendidikan tidak mampu mengakomodasikan kebutuhan masyarakat (aspek sosiologis), falsafah bangsa (aspek filosofis), hakekat anak didik (aspek psikologis), dan hakekat pengetahuan (aspek bidang ilmu) secara sinergis. Padahal menurut Bolton (2000) keempat aspek tersebut harus dipadukan secara sinergi dalam satu sistem kehidupan nyata (real life system) yang lebih bermakna (meaningful), sehingga dapat menciptakan manusia yang tidak hanya mempunyai pola pikir yang tinggi, tetapi diikuti pula oleh daya rohani, fisik dan sosial yang tinggi pula. Kedua, terjadinya mismatch dunia pendidikan dengan kebutuhan kehidupan (Bolton, 2000). Lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan perguruan tinggi berjalan terpisah (fragmentary). Lembaga tersebut cenderung lebih mengedepankan profesionalitas dan mengesampingkan adaptabilitas. Dampaknya tidak hanya pada jumlah pengangguran, tetapi juga pada lulusan yang telah bekerja pun kurang dapat memberikan kontribusi secara proaktif bagi dirinya sendiri, keluarga, agama, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Tidak mengherankan kalau sebagian orang yang telah bekerja, justru menjadi beban bagi lembaganya. Kasus korupsi, kolusi, nepotisme, perebutan kekuasaan, rendahnya citra hukum, rendahnya disiplin masyarakat, meningkatnya kasus narkoba dan kejahatan, lambannya pemulihan krisis ekonomi dan sosial yang marak dewasa ini, merupakan sebagian bukti bahwa pendidikan yang selama ini dilaksanakan kurang bermakna.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memecahkan masalah mutu pendidikan. Salah satu upaya tersebut adalah digulirkannya kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang merupakan konsekuensi logis dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Daerah.

MBS memberikan peran yang lebih luas kepada masyarakat untuk turut terlibat dalam proses penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan di sekolah. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional tentang tanggung jawab pendanaan pendidikan pasal 46 ayat (1) yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
MBS telah mengubah manajemen sekolah dari sentralisasi ke desentralisasi. Dalam Pedoman Implementasi MBS di Jawa Barat (Depdiknas Jabar, 2001: 4) dikemukakan bahwa “Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian kepala sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota”.

Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwa keberhasilan pelaksanaan MBS banyak ditentukan oleh kemandirian kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya. Akdon (2002: 36) bahkan menegaskan bahwa “kepala sekolah adalah the key person untuk keberhasilan MBS”. Dengan kata lain model MBS memberikan peran yang kuat kepada kepala sekolah untuk mengkoordinasikan, menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Udin S. Sa’ud (2002: 36) menjelaskan: “Pelaksanaan MBS memerlukan sosok kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas profesional yang tinggi serta demokratis dalam proses pengambilan keputusan di sekolah”. Depdiknas Jabar (2002: 45) dalam kaitan ini juga menegaskan bahwa “Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) akan berhasil jika ditopang oleh kemampuan profesional kepala sekolah dalam memimpin dan mengelola sekolah secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan iklim organisasi di sekolah yang kondusif untuk proses belajar mengajar”.

Beberapa alasan mendasar diterapkannya MBS dikemukakan oleh Dit PLP Dikdasmen (2001) yaitu: (1) Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah; (2) Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik; (3) Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolah paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya; (4) Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efektif dan efisien bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat; (5) Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; (6) Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, peserta didik, dan masyarakat umum, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan; (7) Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat; dan (8) Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat dan hal itu dapat dipakai sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan (improving school efficiency). Dengan demikian, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sekolah dapat mengurangi beban pemerintah.

Dalam MBS, kepala sekolah dan guru memiliki kebebasan yang luas dalam mengelola sekolah tanpa mengabaikan kebijakan dan prioritas pemerintah.
Lingkup strategi yang dapat ditawarkan adalah: (a) kurikulum yang bersifat inklusif, (b) proses belajar-mengajar yang efektif, (c) lingkungan sekolah yang mendukung, (d) sumberdaya yang berasas pemerataan, dan (e) standarisasi dalam hal-hal tertentu, monitoring, evaluasi, dan tes. Kelima strategi tersebut harus menyatu ke dalam empat lingkup fungsi pengelolaan sekolah, yaitu: (1) manajemen/organisasi/ kepemimpinan, (2) proses belajar-mengajar, (3) sumberdaya manusia, dan (4) administrasi sekolah

Lebih dari itu, Departemen Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2004: 18-19) mengemukakan bahwa sejalan dengan hal ini, penyelenggaraan pendidikan perlu memperhatikan karakteristik, aspirasi dan kebutuhan masyarakat di mana layanan pendidikan itu dilaksanakan. Di sini ditekankan bahwa pendidikan hendaknya memberikan respon kontekstual sesuai dengan orientasi pembangunan daerah dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Ini berarti bahwa perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan-keputusan pendidikan hendaknya memperhatikan aspirasi yang berkembang di daerah itu. Ditegaskan bahwa upaya untuk lendekatkan stakeholders pendidikan agar akses terhadap perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan di sekolah, pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah itu, seperti orang tua dan masyarakat setempat, sepatutnya mendapat akses terhadap perumusan kebijakan dan pembuatan keputusan untuk kepentingan memajukan sekolah.

Lebih lanjut, Departemen Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2004: 18-19) mengungkapkan lima dimensi karakteristik MBS, yaitu: (1) kemandirian, (2) transparansi dan akuntabilitas, (3) partisipasi masyarakat, (4) peningkatan kesejahteraan, dan (5) peningkatan kualitas sekolah. Dalam hal ini, kondisi keterlibatan atau partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan memungkinkan lahirnya keputusan-keputusan yang lebih baik dalam pengelolaan sekolah. MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu komunikasi di antara berbagai pihak yang berkepentingan, yang meliputi Kantor Dinas Pendidikan setempat, kepala sekolah, guru-guru, orang tua, anggota masyarakat setempat dan anak didik. Salah satu partisipasi anggota masyarakat muncul dari perusahaan dan komite
sekolah yang memiliki komitmen tinggi dalam memajukan kualitas sekolah setempat. Dalam hal-hal tertentu, partisipasi anggota masyarakat, khususnya partisipasi perusahaan dan kinerja komite sekolah sangat mempengaruhi jalannya pengelolaan sekolah setempat.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengajukan tema dan judul: PENGARUH PARTISIPASI PERUSAHAAN DAN KINERJA KOMITE SEKOLAH TERHADAP EFEKTIVITAS PENGELOLAAN SEKOLAH (Analisis Persepsi Guru pada Tiga Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung).


0 Response to "PENGARUH PARTISIPASI PERUSAHAAN DAN KINERJA KOMITE SEKOLAH TERHADAP EFEKTIVITAS PENGELOLAAN SEKOLAH (Pend-97)"

Post a Comment