Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan situasi belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan baik untuk dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Namun demikian, salah satu permasalahan pendidikan yang sampai saat ini masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia adalah rendahnya "mutu hasil belajar" pada setiap, jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya melalui pengembangan kurikulum nasional maupun lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, peningkatan kesejahteraan bagi guru, pengadaan buku dan alat-alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana sekolah, namun berbagai indikator tersebut belum mampu meningkatkan mutu hasil pembelajaran yang berarti.
Rendahnya mutu hasil belajar, dari beberapa ahli (Djemari Mardapi 1999: 11) mengatakan bahwa, dalam lima tahun terakhir hasil Ujian Nasional (UN) murni Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) menunjukkan angka naik turun dengan rata-rata Nilai Ujian Nasional (UN) murni bergerak antara 4,00-6,00. Sementara (Achmad Lutfi, 2002: 35) mengatakan, rendahnya mutu hasil belajar disebabkan oleh keuletan siswa pada umumnya rendah. Pada proses pembelajaran, kebanyakan siswa kurang berani mengambil resiko, mereka sering mencontoh pekerjaan teman, kurang berani bertanya kepada guru, kurang berani mengemukakan pendapat dan terlihat cemas".
Belum baiknya kualitas hasil belajar tersebut tampaknya berpengaruh terhadap daya saing kualitas angkatan kerja di tingkat dunia. Menurut (Suyanto, 2001: 55), dilihat dari pendidikannya, angkatan kerja bangsa kita sangat memprihatinkan. Hal tersebut dikarenakan, 53 % -nya tidak berpendidikan, 34 % berpendidikan Sekolah Dasar (SD), 11 % berpendidikan menengah, dan sisanya yaitu 2% yang berpendidikan tinggi." Sedangkan menurut laporan dari human development report 2006, tentang indeks kualitas sumber daya manusia (Human Development Indexs-HDI) dari 174 negara di dunia (Suyanto, 2001: 56) mengatakan, bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 102, dan pada tahun 2007 HDI Indonesia berada pada peringkat 109 berada di bawah Negara Vietnam yang berada pada peringkat 108.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, betapa rendahnya kualitas hasil belajar dan kualitas angkatan kerja bangsa kita ini. Kalau sudah demikian siapa sebenarnya yang salah? Kurang berhasilnya di bidang pendidikan, sampai saat ini guru masih menjadi sasaran surnber kegagalan, tetapi manakala keberhasilan tercapai, guru terlupakan sumbangannya sebagai salah satu unsur pendidikan. Diakui memang, faktor guru berada di barisan terdepan. Sebagi pendidik, selain menguasai ilmu yang akan diajarkan, guru dituntut mampu, mengelola program belajar, mampu mengelola manajemen kelas, mampu mengelola manajemen siswa, mampu memilih metode belajar yang sesuai dan berwawasan jauh kedepan demi kualitas hasil belajar siswa.
Terkait dengan masalah mutu, pendekatan dalam pembelajaran mempunyai nilai strategis. Pada pendekatan belajar tradisional misalnya, guru terlalu dominan berperan dalam setiap kegiatan, guru kurang memberdayakan siswa. Akibatnyai siswa cenderung bersifat pasif, dan kegiatannya tidak bervariasi, kerja sama antar teman rendah, tidak beranii bertanya kepada guru, apalagi mengemukakan pendapat dihadapan teman-temannya, padahal setiap siswa memiliki potensi yang selalu dapat dikembangkan. Untuk mengatasi keadaan seperti tersebut di atas, perlu ada upaya perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Di sektor pengelolaan proses belajar mengajar, mungkin paling tepat bila dilakukan perbaikan, karena masalah pengelolaan proses belajar mengajarlah yang sebenarnya sebagi inti persoalan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pengelolaan dengan berbagai model manajemen pembelajaran, dirasakan sudah merupakan keharusan untuk dilaksanakan. Melalui berbagai model manajemen pembelajaran tersebut, akan membuat proses belajar menjadi bervariasi. Keadaan pembelajaran yang bervariasi akan membuat siswa menjadi tidak mudah jenuh, siswa termotivasi dengan rasa ingin tahu, dan kegiatan belajar akan cenderung aktif.
Kegiatan belajar aktif bukan untuk menciptakan kondisi belajar secara individu, melainkan kondisi belajar secara bersama-sama, atau belajar dengan kelompok. Melalui belajar kelompok diharapkan mampu menumbuhkan rasa kebersamaan, solidaritas, saling membantu dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, guru bukan satu-satunya informasi, guru berfungsi sebagai fasilitator, Inovator dan pencegah bila terjadi konflik.
Masalahnya sekarang adalah, proses manajemen pembelajaran di sekolah selama ini belum mampu meningkatkan kualitas hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan, apalagi kalau hasil belajar tersebut dikaitkan dengan masalah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Dari studi awal menunjukan, bahwa pada umumnya siswa merasa kesulitan dalam memahami konsep akademik, terutama pada mata pelajaran yang bersifat abstrak seperti pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Hal tersebut akan menjadi lebih sulit lagi kalau konsep materinya hanya disajikan melalui cara ceramah. Masalah lainnya adalah bagaimana menemukan cara terbaik untuk mengajarkan berbagai konsep materi ajar kepada siswa, sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat dalam waktu yang lama. Keadaan yang kurang menyenangkan tersebut juga terjadi di Sekolah Dasar (SD) yang menyelenggarakan pembelajaran secara monoton yang mengakibatkan siswa menjadi jenuh, bosan.
Paradigma pendidikan masa depan menurut Zamroni (2001 : 47) guru merupakan kreator proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekpresikan ide-ide kreativitasnya dalam batas-batas norma yang ditegakkan secara konsisten.
terima kasih informasinya gan,
ReplyDeletesewa mobil surabaya
new-weekend.com