BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang dapat memberikan harapan dan kemungkinan yang lebih baik di masa mendatang, telah mendorong berbagai upaya dan perhatian seluruh lapisan masyarakat terhadap setiap derap langkah dan perkembangan dunia pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia, pada intinya bertujuan untuk memanusiakan manusia, mendewasakan, merubah perilaku, serta meningkatkan kualitas menjadi lebih baik.
Pada kenyataannya pendidikan bukanlah suatu upaya yang sederhana, melainkan suatu kegiatan yang dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan akan selalu berubah seiring dengan perubahan jaman. Setiap saat pendidikan selalu menjadi fokus perhatian dan bahkan tidak jarang menjadi sasaran ketidakpuasan, karena pendidikan menyangkut kepentingan semua orang, bukan hanya menyangkut investasi dan kondisi kehidupan di masa yang akan datang, melainkan juga menyangkut kondisi dan suasana kehidupan saat ini. Itulah sebabnya pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikan dan peningkatan sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntutan kehidupan masyarakat.
Sampai satu dasawarsa terakhir penghujung abad ke- 20, dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dengan rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih berorientasi proyek.
Akibatnya seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasaran tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan sumber daya manusia (SDM) yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa.
Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat menjadi pesimis terhadap sekolah. Ada anggapan bahwa pendidikan tidak lagi mampu menciptakan mobilitas sosial mereka secara vertikal, karena sekolah tidak menjanjikan pekerjaan yang layak. Sekolah kurang menjamin masa depan anak yang lebih baik. Perubahan paradigma baru pendidikan kepada mutu (quality oriented) merupakan salah satu strategi untuk mencapai pembinaan keunggulan pribadi anak.
Bangsa kita saat ini mulai menyadari berbagai kelemahan masa lalu. Kini tengah disiapkan upaya reformasi pendidikan nasional untuk mengubah kinerja pelaksana pendidikan selama ini. Kita perlu memperbaiki kerusakan, kejahatan, korupsi atau kerusakan akhlak dari praktik pengelolaan pendidikan nasional. Kesalahan kebijakan pendidikan di masa lalu perlu segera diperbaiki dan diubah dengan pengelolaan yang lebih baik. Otonomi pendidikan merupakan salah satu bentuk reformasi yang perlu dijalankan dengan baik.
Dengan reformasi, perbaikan kualitas pendidikan menuntut tingginya kinerja lembaga pendidikan dengan mengacu kepada perbaikan mutu yang berkelanjutan, kreativitas dan produktivitas pegawai. Kualitas bukan saja pada unsur masukan (input), tetapi juga unsur proses, terutama pada unsur keluaran (output) atau lulusan agar dapat memuaskan harapan masyarakat pelanggan pendidikan. Dengan konsep sistem, maka input, proses, dan output memiliki hubungan yang saling mempengaruhi untuk mencapai kepuasan pelanggan atau sesuai dengan harapan masyarakat (Syafaruddin, 2002: 19-20).
Sekolah sebagai institusi atau lembaga pendidikan merupakan wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Dalam kegiatannya sekolah adalah tempat yang bukan hanya sekedar tempat berkumpul guru dan murid, melainkan berada dalam suatu tataran sistem yang rumit dan saling berkaitan, oleh karena itu sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang membutuhkan pengelolaan. Lebih dari itu kegiatan inti organisasi sekolah adalah mengelola sumber daya manusia yang diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualits sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, serta pada gilirannya lulusan sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembangunan bangsa.
Sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang didesain untuk dapat berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat suatu bangsa. Sebagai salah satu upaya peningkatan itu sekolah perlu dikelola, diatur, ditata dan diberdayakan agar sekolah dapat menghasilkan produk atau hasil secara optimal.
Dengan kata lain, sekolah sebagai lembaga tempat penyelenggaraan
pendidikan merupakan sistem yang memiliki berbagai perangkat dan unsur yang saling berkaitan yang memerlukan pemberdayaan. Secara internal sekolah memiliki perangkat guru, murid, kurikulum, sarana dan prasarana. Secara eksternal sekolah memiliki dan berhubungan dengan instansi lain baik secara vertikal maupun horizontal. Di dalam konteks pendidikan, sekolah memiliki stakeholders (yang berkepentingan), antara lain: murid, guru, masyarakat, pemerintah, dunia usaha. Oleh karena itulah sekolah memerlukan pengelolaan (manajemen) yang akurat agar dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) (Nanang Fatah, 2003:7-8).
Pengelolaan yang dimaksud di atas pada saat ini dikenal dengan istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based management. Manajemen berbasis sekolah merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah, sehingga rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat yang mengakibatkan peningkatan rasa tanggung jawab dan dedikasi warga sekolah (Syaiful Sagala, 2003: 4).
Manajemen berbasis sekolah juga dilatarbelakangi oleh munculnya gerakan peningkatan mutu pendidikan pada tanggal 2 Mei 2002 dan lebih baik terfokus lagi setelah diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, tangguh, kreatif, mandiri, demokratis, dan profesional pada bidangnya masing-masing. Potensi tersebut diperlukan terutama untuk era kesejagatan, khususnya globalisasi pasar bebas di lingkungan negara ASEAN, seperti AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area), maupun di kawasan negara-negara Asia Pasifik (APEC).
Di tengah persaingan dalam era kesemrawutan global dan pasar bebas, manusia dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Ibarat nelayan di laut lepas yang dapat berlayar dengan jalan yang sesat/salah jika tidak memiliki kompas sebagai pedoman untuk bertindak dan mengarunginya. Kondisi tersebut telah mengakibatkan hubungan yang tidak linier antara pendidikan dengan dunia kerja atau “one to one relationship”, karena apa yang terjadi dalam lapangan kerja sulit diikuti oleh pendidikan, sehingga terjadi kesenjangan.
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan penyempurnaan sistem pendidikan, baik melalui penataan perangkat lunak (soft ware) maupun perangkat keras (hard ware). Upaya tersebut antara lain dikeluarkannya Undang- Undang No. 20 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah, serta diikuti oleh penyempurnaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Jika sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat dengan paradigma top-down atau sentralistik, maka dengan berlakunya Undang-Undang tersebut kewenangan bergeser pada pemerintah daerah kota dan kabupaten dengan paradigma buttom-up atau desentralistik, dalam wujud pemberdayaan sekolah, yang meyakini bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang berada di garda depan (line staf), yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan terkena akibatnya secara langsung, yaitu guru dan kepala seolah.
Dalam kaitan ini, visi, misi, dan strategi Dinas Pendidikan Nasional pada tingkat kabupaten dan kota harus dapat mempertimbangkan dengan bijaksana kondisi nyata sekolah dan masyarakat dan harus pula mendukung kebijakan nasional yang merupakan prioritas pemerintah, serta harus mampu memelihara garis kebijakan dan birokrasi yang lebih tinggi. Di samping itu, tujuan harus layak dapat dicapai dengan kemampuan yang ada, serta memiliki gambaran yang ideal tentang kondisi pendidikan yang diharapkan di masa depan.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan paradigma baru manajemen pendidikan. Dalam hal ini berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya diterapkan manajemen berbasis sekolah yang dapat mengelola pendidikan sesuai dengan tuntutan reformasi dalam era globalisasi (E. Mulyasa, 2004: 32-33).
Dua diantara warga sekolah dan masyarakat yang ikut berperan penting dalam mencapai keberhasilan manajemen berbasis sekolah adalah pimpinan sekolah, dalam hal ini kepala sekolah, dan komite sekolah, atau lebih dikenal dengan dewan sekolah. E. Mulyasa (2003: 42) menyatakan bahwa keberhasilan manajemen berbasis sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan pimpinan dalam mengelola tenaga kependidikan yang tersedia di sekolah. Dalam hal ini peningkatan produktivitas dan prestasi kerja dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku manusia di tempat kerja melalui aplikasi konsep dan teknik manajemen personalia modern.
Para kepala sekolah sebagai manajer sudah saatnya mengoptimalkan mutu kegiatan pembelajaran untuk memenuhi harapan pelanggan pendidikan. Sekolah berfungsi untuk membina sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif, sehingga lulusannya memenuhi kebutuhan masyarakat, baik pasar tenaga kerja sektor formal maupun sektor informal. Para manajer pendidikan dituntut mencari dan menerapkan suatu strategi manajemen baru yang dapat mendorong perbaikan mutu di sekolah-sekolah, yakni manajemen berbasis sekolah.
Perberlakuan manajemen berbasis sekolah memiliki implikasi signifikan terhadap pengelolaan sekolah dari yang semula bersifat sentralistik-birokratis menjadi desentralisasi-otonomi. Desentralisasi pendidikan dalam setting pengelolaan sekolah mengandung makna bahwa kepada sekolah bersama elemen pendidikan lainnya, seperti: guru dan komite sekolah memiliki kewenangan secara luas dalam mengelola proses pembelajaran secara profesional dan bertanggung jawab. Makna pemberian wewenang ini ditafsirkan Nanang Fatah (2001: 12) sebagai pemberian wewenang kepala sekolah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan intern sekolah dengan pertanggungjawabannya menggunakan parameter mutu pendidikan. Dalam posisi ini pencapaian mutu pendidikan merupakan esensi dasar dari tujuan pemberlakuan manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian indikator keberhasilan implementasi manajemen berbasis sekolah dilihat dari dimensi output adalah tercapainya mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dalam pandangan Supriadi (1998: 346), erat hubungannya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim budaya sekolah, dan menurunnya perilaku nakal peserta didik. Memperkuat pendapat tersebut, Nurkolis (2003: 119) mengatakan:
Pada tingkat sekolah, kepala sekolah sebagai figur kunci dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala sekolah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan otoritasnya dalam program- program sekolah, kurikulum dan keputusan personil, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akuntabilitas keberhasilan siswa dan programnya. Kepala sekolah harus pandai dalam memimpin kelompok dan pendelegasian tugas dan wewenang.
Apa yang diungkapkan di atas menjadi lebih penting sejalan dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas kepala sekolah, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efisien. Di samping itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak maju semakin pesat, sehingga menuntut penguasaan secara profesional. Menyadari hal tersebut, setiap kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana, dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (E. Mulyasa, 2004: 25). Dalam kerangka inilah dirasakan perlunya peningkatan manajemen kepala sekolah secara profesional untuk mensukseskan salah satu program pemerintah, yakni program penerapan manajemen berbasis sekolah.
Betapa luas dan kompleksnya tugas yang dibebankan kepada kepala sekolah, oleh karena itu diperlukan kesungguhan dari para kepala sekolah yang bersangkutan untuk bisa meningkatkan profesionalisme kinerjanya. Pelaksanaan tugas-tugas kepala sekolah akan berhasil dengan baik apabila kepala sekolah mempunyai keterampilan-keterampilan dalam menunjang tugasnya.
Peran kepala sekolah seperti yang dijelaskan di atas juga akan berjalan dengan baik ketika ada kesesuaian dengan peran yang dimainkan oleh komite sekolah/dewan sekolah sebagai partner kerjanya dalam meningkatkan kualitas sekolah, terutama dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah. Kinerja kepala sekolah dan komite sekolah sangat mendukung terhadap keberhasilan penerapan manajemen berbasis sekolah di sekolah yang bersangkutan.
Di Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, khususnya pada jenjang sekolah dasar, hampir semua sekolah dasar negeri telah menggunakan pola manajemen berbasis sekolah (MBS), ada yang MBS secara penuh, tingkat menengah (sedang), dan MBS secara minimal (Pola MBS semacam ini berdasarkan kutipan dari Fasli Djalal dan Dedi Supriadi, 2001: 161). Penerapan MBS ini juga sejalan dengan instruksi dari Dinas pendidikan.
Namun demikian, dari 48 sekolah dasar negeri yang ada di Kecamatan Cileunyi, penerapan MBS masing-masing sekolah sangat beragam sehingga berakibat terhadap adanya penyebutan sekolah favorit/unggul, sedang, dan kurang. Lalu dilihat dari latar belakang pendidikan, pengetahuan, skill, pengalaman, kebutuhan aktualisasi dan sosialisasi, dari masing-masing kepala sekolah juga berbeda-beda sehingga mutu pendidikan di setiap sekolah juga berbeda-beda. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap beberapa orang kepala sekolah dan pengurus komite sekolah diperoleh keterangan bahwa mereka sudah berupaya semaksimal mungkin dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah di sekolahnya masing-masing.
Keragaman penyebutan dan penerapan MBS di setiap sekolah yang ada di Kecamatan Cileunyi serta adanya kesenjangan antara upaya maksimal para kepala dan komite sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dengan kualitas sekolah yang masih rendah/kurang, berimplikasi terhadap adanya dugaan dari diri penulis bahwa hal itu terjadi karena kontribusi kinerja masing- masing kepala sekolah dan komite sekolah berbeda-beda, sehingga mutu pendidikan masing-masing sekolah pun berbeda pula. Fenomena itu sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam melalui sebuah penelitian yang difokuskan pada judul penelitian “KONTRIBUSI KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH TERHADAP EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (Studi pada Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar Negeri se- Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. )”.
0 Response to "Kontribusi Kinerja Kepala Sekolah Dan Pengurus Komite Sekolah Terhadap Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Pend-96)"
Post a Comment