Pendidikan menengah umum diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan paserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan alam sekitar, sosial dan budaya serta dapat mengembangkan kemampuan lebih dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
Mengingat beban yang diemban Sekolah Menengah Umum begitu berat, maka sekolah harus dikelola secara profesional. Agar dihasilkan tamatan yang sesuai dengan harapan pemerintah. Thoha (1995) mangatakan bahwa organisasi (termasuk sekolah) akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh pemimpin dan kepemimpinannya.
Sehubungan dengan hal tersebut pemimpin atau Kepala Sekolah Menengah Umum baik negeri maupun swasta di lingkungan pendidikan nasional secara periodik diberikan penetaran atau diklat dengan harapan agar sumber daya menusia (SDM) mereka meningkat dan mampu memimpin organisasi di sekolahnya masing-masing.
Pengembangan sumber daya manusia adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan, jabatan melalui pendidikan dan latihan (Hasibuan, 1990).
Kepala Sekolah adalah seorang pemimpin yang merupakan organ yang seharusnya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku bawahannya. Dalam hal ini targetnya adalah para guru yang diharapkan dapat meningkatkan kerjanya setelah mendapat pengaruh dari atasannya.
Agar proses mempengaruhi bisa berjalan lancar, maka pemimpin harus memperlakukan individu secara manusiawi. Manusia dalam melaksanakan kegiatannya senantiasa dipengaruhi oleh kepribadian yang berbeda-beda, misalnya sifat, sikap nilai-nilai, keinginan dan minat, untuk itu akan berpengaruh pada gaya kepemimpinannya juga pada kerjanya. Gaya kepemimpinan adalah pola perilaku konsisten yang diterapkan pemimpin melalui orang lain yaitu melalui perilaku yang diperlihatkan pemimpin pada saat mempengaruhi orang lain, seperti dipersepsikan orang lain. Gaya bukanlah soal bagaimana pendapat pimpinan tentang perilaku mereka sendiri dalam memimpin tetapi bagaimana persepsi orang lain terutama bawannya tentang perilaku pimpinannya (Hersey dan Blanchard, 1992).
Melaluai gaya kepemimpinan itulah seorang pemimpin akan mampu mentransfer beberapa nilai seperti penekanan pada kelompok, dukungan guru-guru maupun karyawan, toleransi terhadap resiko, kriteria pengubahan dan sebagainya pada lain sisi pegawai akan membentuk suatu persepsi subyektif mengenai dasar-dasar nilai yang ada dalam organisasi sesuai dengan nilai-nilai yang ingin disampaikan pimpinan melalui gaya kepemimpinannya.
Untuk menyesuaikan antara nilai-nilai, dibutuhkan suatu proses yang disebut sosialisasi, proses ini akan berhasil dengan baik jika pegawai baru akan merasa senang dengan lingkungan kerja yang ditempatinya. Tidak berbeda dengan guru maupun peserta didik pada suatu sekolah tentunya akan merasa senang dan proses belajar mengajar (PBM) akan berjalan baik. Kepala Sekolah mampu bertugas dan menjalankan fungsinya dengan baik pula. Dalam usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja karyawannya diperlukan seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan situasional, yaitu seorang pemimpin yang selain mempunyai kemampuan pribadi juga mampu membaca keadaan bawahannya serta lingkungan kerjanya.
Dalam hal ini kematangan bawahan berkaitan langsung dengan kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan agar pemimpin memperoleh ketaatan atau pengaruh yang memadai. Untuk itu pemimpin harus mampu menciptakan suasana kerja yang didukung para bawahannya untuk selalu bertugas secara professional. Bukan menyalah gunakan untuk kepentingan pribadi, namun untuk mencapai tujuan individu dalam organisasi agar prestasi kerja bawahan dapat ditingkatkan dan tujuan organisasi dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien.
Salah satu cara efektif untuk meningkatkan prestasi kerja seseorang adalah dengan jalan menciptakan kondisi yang menyokong (Favourable) untuk terciptanya kebutuhan pokok individu (Basic Personal Needs) seseorang. Sebaliknya tidak ada kondisi yang favourable ini akan menghalangi kemungkinan terpenuhinya berbagai prestasi kerja seseorang (Sarwoto, 1986). Kondisi yang manghalangi terpenuhinya basic personal needs tersebut antara lain adanya berbagai kelemahan organiasai dan managemen, sebagai cobtoh tidak tercapainya saling pengertian (Misscomunication) baik itu yang datang dari teman sejawat atau dari pihak atasan sendiri, kurang diperhatikannya faktor-faktor manusia (Penyalahgunaan kekuasaan). Terkait dengan permasalahan ini maka Wexley Yukl (1992) menyarankan pemimpin seharusnya mengawali, berusaha mengajak bekerja membicarakan tentang apa-apa yang menjadi keluhannya.
Pemimpin disuatu sekolah yang akhirnya disebut Kepala Sekolah, dalam konteks tugasnya kepala sekolah sangat berat karena harus mampu berperan ganda. Selain sebagai pemimpin tentunya mampu menjadi mitra kerja guru-guru dalam mengajar dan mendidik para peserta didiknya. Dan tentu setiap pemimpin mempunyai cara dan metode sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Pengelolaan sekolah akan berhasil dan peserta didik mampu berprestasi tidak akan lepas dari pada peran para pendidiknya yang profesional. Untuk dapat menjadikan guru bertugas sesuai dengan harapan dan dapat bertindak profesional tidak akan lepas dari peran Kepala Sekolah dalam memimpin, membimbing, dan mengarahkan para guru di lingkungan kerjanya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penelitian ini diberi judul Gaya Kepemimpinan Situasional Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Profesionelisme Guru, dan penelitian ini dilakukan pada SMU Negeri 1 Magetan.
0 Response to "GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU DI SMU NEGERI I MAGETAN KABUPATEN MAGETAN (PEND-25)"
Post a Comment