BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia dewasa ini ditandai dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat dan bersifat global. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan Iptek yang sangat cepat, terutama bidang komunikasi dan elektronika. Perkembangan bidang ini telah mengakibatkan semacam revolusi informasi. Sejumlah besar informasi hampir mengenai semua bidang kehidupan di semua tempat, tentang semua aspek dan kegiatan telah terhimpun, terolah tersimpan, tersebarkan, dan secara terbuka dan setiap saat dapat diakses, dibaca dan disaksikan oleh hampir setiap orang terutama melalui internet, media cetak dan televisi.
Revolusi informasi telah menyebabkan dunia kita menjadi semakin terbuka, menghilangkan batas-batas geografis, administratif-yuridis, politis, maupun sosial budaya. Masyarakat global, masyarakat teknologis, atau masyarakat informasi yang bersifat terbuka dan berubah sangat cepat memberikan tuntutan, tantangan bahkan acaman-ancaman baru. Manusia yang hidup di abad ini dituntut berusaha untuk tahu banyak (knowing much), berusaha berbuat banyak (doing much), berusaha menjalin hubungan dan kerjasama dengan orang lain (being sociable), dan berusaha memegang teguh nilai-nilai moral (being morally) (Sukmadinata, dkk 2003).
Manusia-manusia unggul bermoral dan pekerja keras inilah yang menjadi tuntutan dari masyarakat global, agar mampu berkompetisi bukan saja dengan sesama warga satu daerah, wilayah ataupun negara tetapi juga dengan warga negara dan bangsa lainnya.
Dasar-dasar pengembangan sumber daya manusia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 merupakan tujuan keberadaan sekolah sebagai lembaga pendidikan. walaupun pengembangan selanjutnya berlangsung di masyarakat dan lingkungan-lingkungan pekerjaan. Sekolah memang tidak mampu mencetak-jadi manusia-manusia sebagimana yang diharapkan, tetapi dapat memberikan landasannya, dasar-dasar, ataupun embrionya untuk dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan SDM unggul atau bermutu sebagaimana yang dimaksud berlangsung dalam proses yang lama, hampir sepanjang hayat, tetapi dasar-dasarnya diberikan dan dikembangkan pada pendidikan dasar (Sukmadinata, dkk. 2003).
Kita mengenal tiga jenjang pendidikan persekolahan yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Pada pendidikan dasar mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan dasar-dasar bagi pengembangan manusia unggul bermoral dan pekerja keras. Berbeda dengan sekolah menengah baik umum maupun kejuruan, yang memberikan dasar-dasar bagi belajar di perguruan tinggi atau dasar bagi pengembangan kecakapan kerja (UU. SPN. No 20 Tahun 2003). Harapan tersebut akan dapat dicapai jika lembaga yang akan mencetak manusia unggul dan bermutu adalah lembaga yang juga harus berorientasi kepada mutu.
Dewasa ini masyarakat sudah cukup mengerti dan menyadari peranan pendidikan bagi kemajuan bangsa dan kesuksesan hidup mereka. Oleh sebab itu masyarakat akan selalu mencari dan menyeleksi sekolah-sekolah yang mereka anggab bermutu, yakni sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan khususnya pelanggan primer yakni peserta didik. Arifin (1999:44) mengemukakan bahwa:
“Sekolah disebut bermutu apa bila para murid mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi, memiliki kesadaran bermasyarakat yang bertangung jawab, memiliki moral dan etika yang berkarakter, mampu mengekspresikan nilai-nilai keindahan dan aspek emosi dan fisiknya tumbuh dengan baik”.
Mutu pendidikan, mutu sekolah, sering tertuju kepada mutu lulusan (mutu hasil belajar, tetapi merupakan suatu kemustahilan pendidikan atau sekolah yang menghasilkan lulusan yang bermutu, kalau tidak melalui proses yang bermutu pula. lebih lanjut juga merupakan kemustahilan, terjadi proses pendidikan yang bermutu kalau tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula. Jadi banyak faktor yang dapat mempengaruhi mutu hasil belajar siswa baik yang bersifat internal siswa itu sendiri maupun faktor eksternal yakni dari lingkungan.
Bila ditinjau dari pengertian hasil belajar menurut Sudjana (2004:2) adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Jadi mutu hasil belajar adalah kualitas kemampuan siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Sudjana (2004:22-23), mengemukakan:
“Horward Kingsley membagi tiga macam hasil belajar yakni: (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. masing-masing jenis hasail belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi Kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motorik. Dalam sistem pendidikan nasional menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris.
Mutu hasil belajar atau mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti: lulusan tidak dapat melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat bekerja/tidak diterima di dunia kerja, diterima bekerja tetapi tidak berprestasi, tidak dapat mengikuti pekembangan masyarakat, dan tidak produktif. Lulusan yang tidak produktif akan menjadi beban masyarakat, menambah biaya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, dan kemungkinan akan menjadi warga yang tersisih dari masyarakat (Sukmadinata et. al (2003:10).
Mengingat begitu banyaknya masalah yang diakibatkan oleh rendahnya mutu sekolah, maka program mutu pendidikan merupakan hal yang teramat penting. Oleh sebab itu perlu adanya dasar yang kuat untuk melaksanakan program peningkatan mutu tersebut. Sukmadinata et. al (2003: 11-12), mengemukakan beberapa dasar yang kuat untuk melaksanakan program peningkatan mutu yakni:
“1. Komitmen pada perubahan. Pemimpin atau kelompok yang ingin menerapkan mutu harus memiliki komitmen atau tekad untuk berubah, sebab peningkatan mutu intinya adalah melakukan perubahan kearah yang lebih baik, lebih berbobot. Perubahan biasanya menimbulkan rasa takut, komitmen dapat menghilangkan rasa takut.
2. Pemahaman yang jelas tentang kondisi yang ada. Banyak kegagalan
yang dialami dalam melaksanakan perubahan karena melakukan sesuatu sebelum sesuatu itu jelas.
3. Mempunyai visi yang jelas tentang masa depan. Perubahan yang dilakukan hendaknya berdasarkan atas visi tentang perkembangan,
tantangan, kebutuhan, masalah, peluang yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Visi tersebut pada awalnya hanya dimiliki oleh
pimpinan atau seorang inovator, tetapi kemudian ditularkan kepada orang-orang yang akan terlibat dalam perubahan tersebut. Visi dapat
menjadi pedoman yang akan membimbing tim dalam perjalanan pelaksanaan peningkatan mutu.
4. Punya rencana yang jelas. Mengacu kepada visi, maka tim menyusun rencana yang jelas. Rencana menjadi pegangan dalam proses
pelaksanaan program mutu. Pelaksanaan program mutu dipengaruhi oleh faktor-fator internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal
itu akan selalu berubah. Rencana harus selalu di up to date sesuai perubahan-perubahan tersebut. Tak ada program mutu yang stagnan
(berhenti), dan tidak ada dua program identik, karena program mutu
selalu didasarkan dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Program mutu merefleksikan lingkungan di mana mereka berada”.
Upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan adalah dengan penyelenggaraan manajemen yang efektif dan efesien. Manajemen merupakan suatu instrumen untuk mengoptimalisasikan komponen- komponen dari suatu sistem secara terencana, terorganisir, terarah, terkoordinasi, terkontrol atau terkendali serta terealisasi efektivitas dan efesiensinya (Kauffman:1972). Di sini Kepala sekolah yang berkedudukan sebagai seorang pimpinan dan manajer bertanggung jawab dalam melaksanakan praktik-praktik manajerial di sekolahnya. Jadi manajemen pada pendidikan dasar dimaksudkan agar komponen-komponen sistem persekolahan dapat berfungsi secara maksimal dalam rangka peningkatan mutu lembaga, lembaga yang bermutu tentu saja diharapkan akan mengeluarkan siswa-siswa dengan hasil belajar yang baik.
Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan mempunyai tugas untuk memadukan unsur-unsur sekolah dengan memperhatikan situasi lingkungan budayanya yang merupakan kondisi terciptanya sekolah yang efektif yakni sekolah yang memiliki mutu yang baik artinya mutu siswa yang dihasilkan oleh sekolah itu mempunyai tingkat pengetahuan, kemampuan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat serta dapat menjawab tantangan moral, mental dan perkembangan iptek.
Kedudukan dan posisi kepala sekolah dalam mewujudkan sekolah yang efektif ini digambarkan oleh R. Jesse Jackson (dalam Oteng Sutisna 1993) sebagai berikut:
”the key to the educational cookie is the principal, the principal is the motivational yeast, how high the students and teachers rise to the chalenge is the principal’s responsibility. If some of the educational ingredients in our recipeare missing, it’s the responsibility of the principal to compensate by invention or innovation or substitution or, if nothing else, by raising hell with the people who stock his pantry”.
Keberadaan kepemimpinan yang efektif sangat diperlukan bagi sebuah lembaga persekolahan. Menurut Davis, sebagaimana yang dikutip oleh Sutisna (1993:301), yang mengemukakan:
”… tanpa kepemimpinan, suatu organisasi hanyalah sejumlah orang yang kacau. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk membujuk orang-orang lain supaya mengejar tujuan-tujuan yang telaj ditetapkan dengan bergairah. Ia adalh faktor manusiawi yang mempersatukan kelompok dan menggerakkan kearah tujuan-tujuan. Kegiatan-kegiatan manajemen seperti merencanakan, mengorgansasi, dan membuat keputusan ialah kepompong tersembunyi sampai saat pemimpin meledakkan kekuatan motivasi dalam orang dan membimbing mereka kearah tujuan-tujuan. Kepemimpinan mengubah potensi menjadi kenyataan. Ia adalah tindakan akhir yang membawa kepada keberhasilan semua potensi yang ada pada organsiasi dan orang-orangnya”.
Akhir-akhir ini kita diperkenalkan dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan sebuah strategi dan konsep baru dan merupakan kebijakan nasional bidang pendidikan yang lebih menekankan kemandirian dan kreativitas sekolah dalam meningkatkan mutu. Dengan MBS pihak sekolah dapat menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara langsung yang relevan dengan kebutuhan siswa. MBS meningkatkan komunikasi antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang meliputi siswa, guru, masyarakat, pemerintah, maupun dunia kerja.
Pelaksanaan MBS menuntut menuntut kepemimpinan kepala sekolah profesional yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas pribadi untuk mewujudkan visi dan misi menjadi aksi, serta demokratis dan transparan dalam berbagai pengambilan keputusan. Mulyasa (2004:42), melihat kecenderungan yang terjadi di Indonesia dalam hal kepala sekolah yakni:
Laporan Bank Dunia (1999) yang mensinyalir bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan persekolahan di Indonesia adalah kurang profesionalnya kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan”.
Keberhasilan suatu institusi pendidikan dalam menjalankan program yang telah direncanakan atau diorganisasikan perlu didukung dengan sebuah kepemimpinan yang efektif. Segenap sumber daya yang ada harus dapat dikerahkan sedemikian rupa.semua sumber daya manusia perlu dikerahkan secara efektif. Kehadiran kepemimpinan sangat esensial, mengingat kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber daya yang dimiliki lembaga.
Untuk mencapai peningkatan mutu hasil belajar sebagai prestasi akademik tersebut maka kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolahnya perlu menetapkan visi dan misi yang akan mengarahkan lembaga melaksanakan program agar lebih terarah. Penetapan visi dan misi lembaga yang berorientasi kepada mutu hasil belajar, tidak akan terlepas dari penyusunan strategi. Irianto (1997:110) mengemukakan: “Tanpa adanya strategi maka lembaga tidak akan mampu menentukan apa yang terbaik untuk ditempatkan pada prioritas pengembangan yang harus diutamakan”. Dalam hal ini perencanaan strategis betul-betul dibutuhkan oleh sebuah lembaga/sekolah dalam usahanya meningkatkan mutu hasil belajar/prestasi akademik mengingat persaingan yang semakin ketat.
Perencanaan strategis merupakan upaya memaksimalkan kekuatan atau sumber daya baik eksternal maupun internal sekolah dalam mencapai mutu secara umum terutama mutu hasil belajar/prestasi akademik pada khususnya.
Upaya tersebut memerlukan suatu perencanaan strategis dan kepemimpinan kepala sekolah yang handal, yakni kepala sekolah yang memiliki strategi untuk mengembangkan sekolah secara profesional. Perencanaan strategis harus dapat menunjang tercapainya efektivitas dan efesiensi penggunaan seluruh sumber daya yang ada.
Perencanaan strategis sangat diperlukan dalam rangka menjawab isu tentang dinamika kehidupan, berbagai perubahan dan ketidakpastian; pemenuhan pelayanan masyarakat yang semakin kritis; tuntutan kemandirian sekolah sebagaimana dalam MBS; dan tantangan global dalam menempatkan sumber daya manusia yang kompetitif. Di samping itu kita dihadapkan dengan perubahan kurikulum yakni kurikulum tahun 2004, kebijakan pemerintah yang cenderung menuntut kenaikan nilai UAN/UAS setiap tahunnya, merupakan tantangan bagi lembaga/sekolah.
Banyak masalah mutu yang dihadapi dalam dunia pendidikan seperti mutu hasil belajar, mutu pengajaran, bimbingan dan latihan dari guru, mutu profesionalisme dan mutu kinerja guru. Mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pimpinan pendidikan khususnya kepala sekolah, keterbatasan dana, sarana dan prasarana, dan pasilitas pendidikan, media sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah, lingkungan pendidikan, serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Memang semua kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan tersebut akhirnya berujung pada rendahnya mutu hasil belajar siswa terutama mutu lulusan.
Berdasarkan pengamatan (prasurvei) penulis di SMPN di Kec. Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir selama ini, ada beberapa gejala yang ditemukan di lapangan adalah sebagai berikut:
1. Secara umum pada saat ini SMP di Kabupaten Indragiri Hilir lebih banyak menghadapi problematika kualitas dari pada kuantitas dan relevansitas. Hal ini ditandai dengan banyaknya lulusan SMPN belum mampu bersaing untuk memasuki sekolah lanjutan yang lebih baik. Indikasi itu dapat dilihat dari rendahnya pencapaian nilai ujian akhir semester (UAN/UAS). Pada tahun
2003 rata nilai UAN/UAS SMPN kabupaten Indragiri Hilir hanya 4,56. Dari
36 SMPN yang ada di Kab. Indragiri Hilir terdapat 30% atau 11 SMPN yang berada diatas rata-rata selebihnya 70% atau 25 sekolah yang berada di bawah rata-rata. Sedangkan di Kecamatan Tembilahan, dari 6 SMP yang ada hanya 2 sekolah yang berada di atas rata-rata.
2. Bila dlihat dari aspek non akademik, banyak kritik yang diarahkan pada masalah kedisiplinan, moral dan etika, kreativitas, kemandirian, yang tidak mencerminkan tingkat kualitas sumber daya manusia yang diharapkan oleh masyarakat luas.
3. Sebahagian besar sekolah tidak mempunyai dokumen perencana strategis, namun demikian setiap sekolah telah mempunyai rumusan visi dan misi sekolah, dan hanya sebahagian kecil guru-guru dan staf sekolah memahami visi dan misi organisasi karena kurang adanya komunikasi dan sosialisasi dari kepala sekolah.
4. Ukuran keberhasilan kepala sekolah mengarah kepada bagaimana dapat memenuhi tugas administrasi serta upaya mewujudkan kinerja fisik yang tercermin dalam penampilan sekolah dan atributnya. Penilaian keberhasilan tugas kepala sekolah ditentukan oleh seberapa banyak standar persyaratan administrasi itu tercapai.
5. Persepsi kepala sekolah tentang penilaian keberhasilan mereka dalam memimpin sekolah hanya dilihat dari ukuran sejumlah sumber daya yang ada bukan apa yang terjadi terhadap sejumlah sumber daya yang ada tersebut. Dalam hal ini pemberdayaan sumber daya yang ada belum maksimal.
6. Upaya Khusus untuk meningkatkan mutu hasil belajar SMPN di Kab.
Indragiri Hilir, belum diimbangi dan belum mendapat perhatian/dukungan yang memadai dari aspek kepemimpinan kepala sekolah, sehingga tingkat pencapaian hasil belajar siswa belum maksimal.
7. Kepala Sekolah/pemimpin cenderung hanya menekuni pekerjaan rutin yang melekat pada jabatannya dan relatif kurang memahami peran dan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
8. Lahirnya kebijakan pemerintah tentang passing great nilai UAN/UAS yang cenderung dituntut semakin meningkat setiap tahun, dianggab sebagi suatu hal yang sangat memberatkan tugas meraka, karena siswa tidak dipersiapkan dan kurang mendapat perhatian sejak awal dari sekolah.
0 Response to "Kontribusi Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Implementasi Perencanaan Strategis Terhadap Mutu Hasil Belajar (PEND-101)"
Post a Comment