PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN MORAL SISWA (Studi Pengembangan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bekasi) (PEND-77)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Fenomena moral telah menjadi isu utama dalam perjalanan hidup umat manusia. Permasalahan moral telah ada semenjak adanya manusia bahkan Rasulullah SAW diutus ke dunia untuk memperbaiki moral (akhlak) umat manusia sebagaimana dalam sabdanya: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Imam Hakim dalam Jamil Zainu, 2000: 56). Bahkan para filsuf seperti Socrates, Aristoteles, Ibn Rusyd, Al Ghazali, hingga Imanuel Kant menyadari pentingnya faktor moral (Muthahhari, 2008).


Sehingga gagasan konsep filsafat mereka tidak mengesampingkan pembahasan moral meskipun di antara mereka memiliki pemahaman yang berbeda. Dalam kajian Psikologi, Piaget dan Lawrence Kohlberg, mencurahkan fokus penelitian untuk membahas perkembangan moral anak hingga dewasa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa moral merupakan salah satu landasan utama yang penting bagi kesejahteraan suatu bangsa dan merupakan substansi dari suatu kemajuan bangsa dan Negara. Khalid Latief (2008) salah sorang pemikir Islam Amerika menulis dalam artikelnya bahwa “Morality is one of the fundamental sources of a nation’s strength, just as immorality is one of the main causes of a nation’s decline.”. Wan Muhammad Wan Daud (Nasir, 2008: 11) Guru Besar UKM Malaysia menegaskan bahwa, kemajuan yang sebenarnya dalam pembangunan (global) bukan pada kemajuan fisik, akan tetapi pada perkara-perkara akhlak dan moral manusia seluruhnya.

Unsur moral hampir telah dilupakan oleh sebagian besar umat manusia yang terjebak dalam pengaruh worldview (cara pandang) barat yang mendewakan sains dan teknologi sebagai puncak kemajuan, maka tidak mengherankan apabila nilai moral dikesampingkan dan di relatifkan sehingga arus globalisasi sarat nilai yang negatif di terima tanpa proses penyaringan secara kritis. Padahal kemampuan moral sangat dibutuhkan sebagai penyaring nilai-nilai negatif globalisasi yang selama ini terabaikan (Hawari, 2009: 1).

Dalam dunia pendidikan permasalahan moral juga merupakan suatu isu pokok yang kini tidak sekedar hanya menjadi wacana retorika, namun telah menjadi sesuatu yang harus di integrasikan dan dicapai oleh siswa. Hal tersebut Tercermin di dalam tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) menegaskan, bahwa pendidikan adalah:
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, keceradasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Ditegaskan pula di dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3, bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indonesia (Zuriah, 2008: 7). Bahkan menteri Pendidikan Republik Indonesia periode 2009-2014 Muhammad Nuh menegaskan bahwa, kelulusan Ujian Nasional tahun 2010 meliputi empat syarat, yaitu menyelesaikan seluruh program
pendidikan, memiliki akhlak dan moral yang baik, lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional (Tribun Jabar, 2010: 2). Pernyataan demikian merupakan bentuk penegasan kembali terhadap bentuk evaluasi dalam pendidikan yang meliputi tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek afektif merupakan aspek yang di dalamnya terdapat indikator moral. Hal tersebut merupakan sebuah konsep dan komposisi pendidikan yang dinamis dan seimbang yang diharapkan melahirkan manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, bermoral, menguasai IPTEK secara profesional serta dinamis dan kreatif (Yusuf dan Juntika: 2008).

Pentingnya kesadaran untuk mengembangkan moral di karenakan realitas bergulirnya globalisasi tidak sekedar berdampak positif. Globalisasi telah menjadi salah satu intrumen yang memiliki peran dan pengaruh siginifikan dalam mentransfer nilai-nilai yang dianut dari suatu bangsa dan negara secara cepat yang tentunya belum sesuai dengan sistem nilai yang dianut pada bangsa dan negara lain sehingga dapat mempengaruhi tatanan atau sistem nilai pada bangsa dan negara tersebut. Salah satu wujud kemajuan yang identik dengan globalisasi adalah kemajuan teknologi. Pesatnya kemajuan teknologi berbanding lurus dengan dampak negatif yang ditimbulkan, seperti televisi, handphone, internet, telah menyodorkan perilaku sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran dan pengagung kekerasan (Borba, 2008: 5). Selain itu, media-media visual yang secara bebas mengekspos hal-hal yang mengarah kepada perilaku atau tindakan yang immoral. Kondisi demikian yang disebut sebagai new invation dan new imperialism barat untuk mentransfer nilai-nilai budaya mereka berupa homogenisasi food, fun, fashion, dan thought (Husaini, 2005:5).

New invation dan new imperialism dengan gaya baru terbukti mampu mempengaruhi mindset masyarakat global termasuk Indonesia dan korban yang dominan adalah remaja. Implikasi atau dampak tersebut tentu menggusur tatanan nilai moral pada bangsa Indonesia. Ketua Pelaksana Harian (Kalakhar) BNN Gorries Mere mengungkapkan, peredaran narkoba di Indonesia khususnya Jakarta sudah begitu tahap mengkhawatirkan karena yang menjadi korban tidak hanya orang dewasa, tapi juga mengincar para remaja dan anak-anak. Bahkan, dari riset yang dilakukan pada tahun 2008 lalu, BNN mencatat 5 dari 100 penduduk Jakarta telah terkena narkoba. Jumlah ini, terbilang cukup besar dibandingkan persentase secara nasional. Karena secara nasional, hanya 2 dari 100 penduduk Indonesia
yang terkena narkoba (http://www.beritajakarta.com).

Data lain menunjukan bahwa jumlah pelajar pengguna narkotika dan obat berbahaya (Narkoba) di Indonesia, berdasarkan data Badan Narkoba Nasional
(BNN) tahun 2006, tercatat sebanyak 83.000 pelajar (www.kompas.com).


Data dari kasus lain sungguh mengejutkan, 4. 500 remaja di kota besar di Indonesia tahun 2007 menunjukan sebanyak 97% dari responden pernah menonton film porno, sebanyak 93,7% pernah ciuman. Sedangkan 62,7% SMP berhubungan intim, dan 21,2% siswi SMA penah menggugurkan kandungan. Hasil survey Komisi Nasional Perlindungan Anak (Koran Rakyat Merdeka, 18
Maret 2009).

Data hasil survei Annisa Fondation menunjukan bahwa di Cianjur (Jawa Barat) yang dikenal sebagai kota Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah) ternyata menunjukkan lebih dari 40 persen pelajar perempuan di kota santri itu telah melakukan hubungan seks pra nikah (www.bkkbn.go.id).

Kondisi demikian terjadi bukan secara alami (natural), namun hal tersebut terjadi karena pengaruh dari luar, yaitu lingkungan individu yang sudah tercemari oleh produk-produk nilai luar. Fakta tersebut menjadi pertanda bahwa bangsa ini sedang mengalami dekadensi moral (akhlak) akut. (Taher, 2007), yang jika dibiarkan suatu kelak akan merobohkan eksistensi bangsa dan negara, bahkan agama.

Bercermin kembali pada tujuan UUD 1945 seyogianya penekanan aspek moral yang berorientasi pada ranah afektif harus menjadi prioritas utama bagi para pendidik maupun pembuat kebijakan. Perubahan kuruikulum dari kurikulum 1994 menjadi KBK hingga diubah menjadi KTSP diharapkan titik pengembangan kecerdasan tidak sekedar berkisar pada aspek kognitif namun mampu diselaraskan pada ketiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif dan psikomotorik (Majid dan Andayani, 2005: 51). Namun dalam kenyataannya aspek afeksi masih di kesampingkan, hal ini terlihat dengan adanya kelas unggulan dan bertebarannya lembaga bimbingan belajar yang hanya berorientasi pada aspek kognitif .

Telah banyak usaha dan cara yang dilakukan untuk mengembangkan dan membentuk karakter moral positif pada anak (akhlakul karimah) mulai dari
pendekatan sosial, kemampuan mengatasi konflik, manajemen stres, para guru mengajarkan rasa percaya diri, hingga gagasan Howard Garder tentang multiple intellegence dan Daniel Goleman dengan gagasan kecerdasan emosional, namun krisis moral masih terus berlanjut (Borba, 2008: 3), maka salah satu solusi efektif adalah mengarahkan kemampuan anak dan remaja untuk memahami dengan keyakinan yang kuat tentang hal benar dan salah (Borba, 2008: 4). Konsep inilah yang disebut dengan kecerdasan moral (moral intelligence). Kecerdasan moral merupakan hal mendasar dari kemampuan kecerdasan emosional. Hal tersebut tampak semacam kompas moral dan merupakan jantung dari kesuksesan yang berjalan lama. Kecerdasan moral merupakan kapasitas mental untuk menentukan bagaimana prinsip umum manusia yang harus digunakan pada nilai, tujuan, dan tindakan kita. Kecerdasan moral merupakan kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah seperti yang di definisikan oleh prinsip umum. Prinsip umum merupakan kepercayaan mengenai tingkah laku manusia secara umum pada seluruh budaya di dunia. Kecerdasan moral bukan hanya penting untuk mengefektifkan kepemimpinan, namun juga merupakan “pusat kecerdasan” bagi seluruh manusia. Kecerdasan moral secara langsung mendasari kecerdasan manusia untuk berbuat sesuatu yang berguna. Kecerdasan moral memberikan hidup manusia memiliki tujuan. Tanpa kecerdasan moral, kita tidak dapat berbuat sesuatu dan peristiwa-peristiwa yang menjadi pengalaman jadi tidak berarti. Tanpa kecerdasan moral kita tidak akan tahu mengapa kita pekerjaan yang kita lakukan dan apa yang harus dikerjakan. Coles (2003: 5) seorang pakar psikologi yang fokus mengkaji kecerdasan moral menegaskan bahwa untuk mengintegrasi
kecerdasan moral pada diri ramaja tidak akan tercapai hanya dengan mengingat kaidah dan aturan (ini benar, itu salah), hanya diskusi abstrak (teoritik) di dalam sekolah atau di dapur. Kita tumbuh secara moral sebagai hasil mempelajari bagaimana bersikap terhadap orang lain, berperilaku di dunia ini, pelajaran yang di timbulkan oleh tindakan memasukan kedalam hati apa yang kita lihat dan kita dengar. Pentingnya peran moral, maka Howard Gardner menyarankan perlu di padukan antara intelligence dengan moral, “We must figure out how intelligence and morality can work together to create a world in which a great variety of people will want to live” (Smith, 2005).

Perkembangan konsep moral dari masa anak ke masa remaja dominan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama keluarga (Yusuf, 2008: 133), kemudian masayarakat dan lingkungan sekolah. Proses pemahaman tentang konsep moral (benar-salah, baik-buruk) pada anak dan remaja sangat berbeda. Pemahaman moral anak bersifat heteronomy sebab anak memahami bahwa aturan-aturan orang dewasa merupakan sebuah hukum yang harus di ikuti, inilah konsep Piaget (Crain, 2007: 194) yang kemudian di kembangkan oleh Kohlberg pada tahapan moral prokonvensionalnya (Hurlock,1980: 123). Sedangkan ketika anak memasuki usia remaja, konsep pemahaman terhadap nilai-nilai moral sudah mengalami perubahan. Mereka tidak lagi memahami moral berdasarkan perspektif orang dewasa (sinkritisme) (Lapsley, 2006: 42). Namun pada masa remaja mereka mulai memahami konsep moral secara abstrak, kritis dan teoritis. Tahapan ini disebut Kohlberg tahapan prakonvensional (Hurlock, 1980: 225). Sikap kritis, objektif dan komparatif menjadi bagian dari proses berpikir abstrak remaja mencari konsep baik-salah menurut tuntutan lingkungan mereka. Apabila lingkungan yang ditempati seorang remaja masih menekankan aturan-aturan yang baik menurut konsep dan sumber moral, maka kemungkinan pembentukan dan pengembangan moralitas seorang remaja mengarah kepada hal-hal positif karena tuntutan lingkungan tersebut, akan tetapi apabila seorang remaja tumbuh dalam lingkungan atau kelompok yang mengesampingkan nilai-nilai moral, maka tentunya mereka akan terpengaruh oleh lingkungan kelompok mereka, kecuali mereka memiliki kemampuan atau kecerdasan moral yang baik sebagai penyaring pengaruh-pengaruh negatif tersebut.

Kondisi perubahan moral yang rentan di pengaruhi oleh faktor lingkungan maka di perlukan arahan dan bimbingan sehingga kemampuan moral (kecerdasan moral) remaja berkembang berdasarkan konsep nilai norma dan adat istiadat yang ideal dalam suatu budaya dan keyakinan agama. Hurlock (1980:225) mengemukakan bahwa terdapat dua kondisi yang membuat pergantian konsep moral khusus ke dalam konsep moral umum tentang benar salah, salah satu solusinya adalah melalui bimbingan. Bimbingan yang di maksud dapat dilakukan pada lingkungan sekolah (informal), maka yang bertanggungjawab melakukan proses bimbingan berdasarkan wilayah kerja profesionalnya (berdasarkan UU) adalah konselor atau guru bimbingan yang tentunya berkaloborasi dengan (pimpinan sekolah, guru-guru, dan staf administrasi) dan pihak yang terkait, seperti pemerintah, psikolog, tokoh agama dan dokter (Syamsu, 2009: 7).

Bimbingan merupakan salah satu alternatif solusi ideal untuk mengembangkan kemampuan dan potensi moral (kecerdasan moral) siswa.

Tentunya bimbingan yang dimaksud bersifat khusus, seperti yang ditegaskan Nana Syaodih (2005: 233) yaitu, suatu upaya atau program membantu mengoptimalkan perkembangan siswa. Bimbingan merupakan komponen utama dalam jalur pendidikan. Komponen-komponen tersebut memiliki sinergitas dengan komponen yang lain. Efektifitas pendidikan dapat tercapai apabila ketiga komponen tersebut dapat terlaksana. Ketiga komponen tersebut adalah bidang adminitrasi dan kepemimpinan, bidang intruksional atau kurikuler dan bidang bimbingan dan konseling (Dirjen PMPTK Diknas, 2007: 9-10). Pendidikan yang hanya menekankan pada bidang administrasi dan instruksional, maka pendidikan hanya menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan intelektualitas dan terampil pada aspek akademik, namun kurang memiliki kemampuan dan kematangan kepribadian, sehingga seluruh aspek yang termaktub dalam tujuan pendidikan tidak tercapai secara meyeluruh terutama pada aspek priabadi dan sosial seperti berakhlak (moral) mulia dan memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri.

Hurlock (1980: 225) menjelaskan bahwa untuk mengarahkan pemahaman dan kemampuan moral remaja supaya berkembang secara optimal (ketika pada masa pergantian dari anak ke remaja) bimbingan merupakan salah satu solusi.

Bimbingan secara umum dapat di defenisikan sebagai, process of helping an individual to understand himself and his world. Sunaryo Kartadinata, mengartikanya bimbingan sebagai proses membantu siswa untuk mencapai perkembangan secara optimal (Shertzer and Stone dalam Yusuf, 2009: 38). Secara khusus tujuan bimbingan adalah agar siswa mampu mencapai tugas-tugas perkembangan yang meliputi aspek pribadi-sosial, akademik, dan karir dan
memiliki fungsi pokok, yaitu pemahaman, preventif, pengembangan, perbaikan, penyaluran, adaptasi dan penyesuaian (Yusuf, 2009: 59-60).

Tujuan dan fungsi bimbingan selaras dengan masalah pengembangan kemampuan (kecerdasan) moralitas pada remaja. Lingkup pembahasan moral adalah pribadi-sosial, seperti empati, hati nurani, kontrol diri, toleransi, keadilan, rasa hormat dan kebaikan hati (Borba, 2008: 7-8). Dampak pengembangan kecerdasan moral berimplikasi pada pengembangan individu siswa (sebagai personal) yaitu dapat melindungi (protect) individu dari perilaku yang menyimpang (Graham el al. 2008: 3). Juntika (2006: 16) menjelaskan, bahwa bimbingan sosial-pribadi adalah bimbingan yang di arahkan untuk memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah dirinya. Adapun yang termasuk aspek-aspek pribadi dalam bimbingan menyangkut, komitmen hidup beragama, pemahaman sifat dan kemampuan diri, bakat dan minat, konsep diri, dan kemampuan mengatasi masalah pribadi. Sedangkan aspek sosial meliputi, keragaman tentang adat dan budaya, sika-sikap sosial, dan kemampuan berhubungan sosial secara positif dengan orang tua, guru, teman, dan staf sekolah (Yusuf, 2009: 59-60).

Fungsi dalam layanan bimbingan mengarahkan para siswa untuk memahami konsep moral yang benar atau baik ketika remaja tersebut mengalami pengalihan dalam tugas perkembangannya dari masa anak ke masa remaja (preventif), mengembangkan konsep nilai moral yang dimiliki siswa (development), memperbaiki (kuratif) cara pandang siswa terhadap konsep nilai moral negatif yang telah dijadikan keyakinan kebenaran kemudian di arahkan atau dirubah
sesuai konsep nilai yang ideal (positif) sehingga siswa tersebut mampu melakukan penyesuaian dan adaptasi berdasarkan norma moral yang di yakini kebenarannya dalam masyarakat. Proses layanan bimbingan harus terlaksana berdasarkan konsep dan pengelolahan program secara struktural dan sistematis agar proses pelaksanaan bimbingan dapat dilakukan secara efektif. Pengelolaan program merupakan kompetensi yang imperatif di miliki seorang konselor atau guru pembimbing hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
27 Tahun 2008, tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, pada butir D. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa salah satu faktor untuk mengembangkan kecerdasan moral siswa di sekolah adalah melalui layanan program bimbingan melalui bimbingan pribadi-sosial.

Penelitian ini akan dilaksanakan di jenjang pendidikan menengah atas (SMA). Tingkat usia anak SMA berkisar 16 – 18 tahun. Usia tersebut tergolong usia remaja. Yusuf (2008: 26) menjelaskan, bahwa usia sekolah menengah (SMP/SMA) bertepatan dengan masa remaja yang meliputi masa pra remaja (SMP) dan masa remaja (remaja madya) serta remaja akhir (SMA). Menurut Erikson, masa remaja merupakan masa pencarian identitas pribadi. (Boeree, 2005:
96). Proses pencarian identitas tersebut di ikuti dengan proses perubahan pada cara berpikir remaja dari berpikir konkrit kearah berpikir abstrak. Mereka (remaja) dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan, kemungkinan-kemungkinan hipotesis, atau dalil-dalil penalaran yang benar abstrak (Santrock, 2002: 10). Proses inilah yang menimbulkan sikap dan perilaku kritis remaja terhadap lingkungannya. Namun, pada masa tersebut, remaja juga mengalami masa yang
berkecamuk, sebab realitas yang di hadapinya berskala besar, yaitu tuntutan sosial (Crain, 2007: 441). Krisis identitas membuat remaja menjadi bingung dengan identitas diri dan penempatan atau pemposisian dirinya dalam lingkup sosial, sehingga mereka mencoba mengidentifikasi diri dengan geng tertentu (Crain,
2007: 442), sehingga menimbulkan perilaku seperti, tidak toleran, tidak empati, dan kejam ketika mengucilkan orang lain yang berbeda dengan dirinya atau perilaku immoral lainnya.

Implikasi negatif yang di lakukan remaja karena faktor kebingungan peran di masayarakat terutama kemampuan memilih dan menentukan nilai baik-buruk (kecerdasan moral) mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul Program Bimbingan Pribadi-Sosial untuk Meningkatkan Kecerdasan Moral Siswa dilakukan di jenjang SMA, selain itu aspek moral (akhlak) merupakan salah satu syarat kelulus`n UN sehingga di harapkan kontribusi penelitian ini mampu meningkatkan kecerdasan moral siswa.

Lokasi penelitian adalah SMA Negeri 1 Setu Bekasi. SMAN 1 Setu. Lokasi ini di pilih karena beberapa pertimbangan premis dan berdasarkan data observasi, antara lain lokasi SMA berada di perkotaan yang mudah terpengaruh oleh pola hidup kota yang individualistic, materialistic dan hedonistic. Siswa yang berada dikota rentan terpengaruh dengan gaya hidup (style life) modern, seperti konsumtif, penggunaan dan pemanfaatan teknologi modern seperti, handphone dan internet yang memiliki kapasitas besar dan pergaulan yang rentan mengesampingkan nilai moral. Oleh karena itu, berdasarkan metode berpikir silogisme dapat di simpulkan secara premis minor bahwa SMAN 1 Setu yang berlokasi di Kota tentu di pengaruhi oleh pola-pola hidup metropolitan yang dapat mengancam eksistensi moral siswanya. Melalui observasi pendahuluan yang di lakukan oleh peneliti hampir sebulan, peneliti telah mengobservasi dan mewawancarai beberapa guru (termasuk guru BK) dan beberapa siswa dengan menggunakan indikator-indikator pada aspek Kecerdasan Moral, seperti toleran, kontrol diri dan empati. Berdasarkan indikator aspek moral menunjukan bahwa terdapat kecenderungan perilaku moral yang belum sesuai, seperti komunikasi verbal dalam pergaulan yang jurang sehat (bermoral) seperti memanggil temannya dengan sebutan yang tidak pantas dan kurang menghargai guru (beberapa guru) yang sedang mengajar. Akan tetapi, pengamatan sementara tersebut belum dapat di jadikan justifikasi objektif dan konklusi akhir bahwa tingkat kemampuan atau kecerdasan moral di SMAN 1 rendah.

Selain itu, peneliti juga mengobservasi program bimbingan dan konseling, khususnya program bimbingan pada ragam pribadi-sosial ternyata belum ideal dan efektif disebabkan belum adanya jam kelas untuk BK dan terdapat guru BK yang latar belakang pendidikan non BK, sehingga peneliti menyimpulkan perlu adanya perbaikan dan pengembangan program BK khususnya pengembangan program bimbingan pribadi sosial di SMAN 1 Setu Bekasi sebagai salah satu lokasi penelitian. Di harapakan melalui program layanan bimbingan dan konseling, proses preventif , kuratif, develop, penyesuaian dan adaptasi moral siswa dapat tercapai secara maksimal.



contoh judul tesis manajemen pendidikan gratis 

0 Response to "PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN MORAL SISWA (Studi Pengembangan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bekasi) (PEND-77)"

Post a Comment