Tugas guru pada dasarnya ada dua macam yaitu mendidik dan mengajar. Mendidik dalam arti menanamkan nilai-nilai pada diri anak didik seperti budi pekerti, nilai keimanan, dan ketaqwaan (imtaq) kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai sopan santun, dan sebagainya, yang semua itu ditanamkan oleh guru dengan cara mengintegrasikan materi-materi tersebut melalui mata pelajaran yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan dalam tugas mengajar, guru diharapkan mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi penguasaan ilmu pengetahuan oleh anak didik sesuai dengan bidang mata pelajarannya. Keberhasilan tugas guru dalam jangka pendek dapat dilihat pada setiap akhir periode pembelajaran melalui tes formatif, tes sumatif maupun ujian nasional di setiap jenjang pendidikan.(Majlis Diklitbang PP Muh. 2004:14)
Seorang guru, tidak sekedar dituntut kecakapannya menstransfer ilmu pengetahuan dan memperhatikan aspek sosialisasi moral anak didik saja, namun lebih dari itu guru juga dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya agar guru mampu mencerdaskan anak didik dengan informasi terkini dalam memenuhi kebutuhan zaman untuk menghadapi era globalisasi. Harapan guru yang ideal bila dilihat di lapangan sangat sulit ditemukan. Banyak guru yang menemui kendala dalam menyajikan proses pembelajaran, misalnya saja kemampuan mengelola pembelajaran, penguasaan materi pembelajaran, mengembangkan standar isi dan standar kompetensi lulusan ke dalam proses pembelajaran, penerapan pendekatan, penggunaan metode,dan menggunakan media pembelajaran yang berhubungan dengan kompetensi guru. Apalagi jika dikaitkan dengan faktor di luar guru, misalnya input (siswa), sarana dan prasarana sekolah, dan hal lainnya sehingga dapat menimbulkan hasil pembelajaran yang tidak optimal atau tidak mencapai SKL (Standar Kompetensi Lulusan).
Berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.
Namun apa yang terjadi pada pembelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang terus bergulir bagai roda itu masih saja model lama. Keterampilan berbahasa baik lisan maupun tulisan diabaikan saja tanpa dipacu ke arah penggunaan dalam situasi yang sebenarnya. Dalam proses mengajar guru masih saja memulainyai dengan penguasaan kebahasaan.Padahal sudah jelas bahwa pada Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang sekarang sedang digulirkan bahwa pembelajaran kebahasaan merupakan pemaknaan dari berkomunikasi. Pembelajarannya dimulai dari berkomunikasi, yaitu kalimat atau wacana. Apabila model pembelajaran kembali kepada kebahasaan yang mengabaikan komunikasi maka yang terjadi siswa tahu akan kaidah bahasa, tetapi belum tentu terampil menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan standar kompetensi. Hal ini pun diungkapkan oleh J.S. Badudu ( 1993:131) bahwa kesalahan pengajaran Bahasa Indonesia yang terjadi yaitu guru terlalu banyak menyiapkan materi, tetapi kurang sekali menyuruh siswa aktif dalam melakukan keterampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang akhirnya pengajaran Bahasa Indonesia kurang berhasil.
Selain itu, guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kurang bervariasi dalam melakukan interaksi belajar mengajar. Dari hari ke hari begitu saja. Para siswa disuruh membuka buku paket atau LKS kemudian siswa mengerjakan atau mencatat teori-teori kebahasaan atau sastra. Para siswa pun merasa jenuh karena mereka tidak terlibat secara aktif. Guru aktif sendiri, sedangkan siswanya duduk, catat, kerjakan latihan. Bahkan latihan yang dikerjakan siswa tidak dikoreksi. Proses pembelajaran seperti ini tentunya tidak akan meningkatkan prestasi belajar siswa.Apalagi guru tersebut tidak menggunakan media pembelajaran dan tidak adanya interaktif.
Suasananya diam, menegangkan, mencekam, tidak menarik, pasti akan cepat membosankan para siswa. Apakah hal seperti ini masih sesuai atau dipertahankan? Sampai kapan?
Seorang guru, tidak sekedar dituntut kecakapannya menstransfer ilmu pengetahuan dan memperhatikan aspek sosialisasi moral anak didik saja, namun lebih dari itu guru juga dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya agar guru mampu mencerdaskan anak didik dengan informasi terkini dalam memenuhi kebutuhan zaman untuk menghadapi era globalisasi. Harapan guru yang ideal bila dilihat di lapangan sangat sulit ditemukan. Banyak guru yang menemui kendala dalam menyajikan proses pembelajaran, misalnya saja kemampuan mengelola pembelajaran, penguasaan materi pembelajaran, mengembangkan standar isi dan standar kompetensi lulusan ke dalam proses pembelajaran, penerapan pendekatan, penggunaan metode,dan menggunakan media pembelajaran yang berhubungan dengan kompetensi guru. Apalagi jika dikaitkan dengan faktor di luar guru, misalnya input (siswa), sarana dan prasarana sekolah, dan hal lainnya sehingga dapat menimbulkan hasil pembelajaran yang tidak optimal atau tidak mencapai SKL (Standar Kompetensi Lulusan).
Berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.
Namun apa yang terjadi pada pembelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang terus bergulir bagai roda itu masih saja model lama. Keterampilan berbahasa baik lisan maupun tulisan diabaikan saja tanpa dipacu ke arah penggunaan dalam situasi yang sebenarnya. Dalam proses mengajar guru masih saja memulainyai dengan penguasaan kebahasaan.Padahal sudah jelas bahwa pada Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang sekarang sedang digulirkan bahwa pembelajaran kebahasaan merupakan pemaknaan dari berkomunikasi. Pembelajarannya dimulai dari berkomunikasi, yaitu kalimat atau wacana. Apabila model pembelajaran kembali kepada kebahasaan yang mengabaikan komunikasi maka yang terjadi siswa tahu akan kaidah bahasa, tetapi belum tentu terampil menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan standar kompetensi. Hal ini pun diungkapkan oleh J.S. Badudu ( 1993:131) bahwa kesalahan pengajaran Bahasa Indonesia yang terjadi yaitu guru terlalu banyak menyiapkan materi, tetapi kurang sekali menyuruh siswa aktif dalam melakukan keterampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis yang akhirnya pengajaran Bahasa Indonesia kurang berhasil.
Selain itu, guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kurang bervariasi dalam melakukan interaksi belajar mengajar. Dari hari ke hari begitu saja. Para siswa disuruh membuka buku paket atau LKS kemudian siswa mengerjakan atau mencatat teori-teori kebahasaan atau sastra. Para siswa pun merasa jenuh karena mereka tidak terlibat secara aktif. Guru aktif sendiri, sedangkan siswanya duduk, catat, kerjakan latihan. Bahkan latihan yang dikerjakan siswa tidak dikoreksi. Proses pembelajaran seperti ini tentunya tidak akan meningkatkan prestasi belajar siswa.Apalagi guru tersebut tidak menggunakan media pembelajaran dan tidak adanya interaktif.
Suasananya diam, menegangkan, mencekam, tidak menarik, pasti akan cepat membosankan para siswa. Apakah hal seperti ini masih sesuai atau dipertahankan? Sampai kapan?
0 Response to "KORELASI ANTARA KOMPETENSI GURU DALAM MENYAMPAIKAN PEMBELAJARAN DAN MENGGUNAKAN MEDIA OHP MENURUT PERSEPSI SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA SISWA KELAS VII SMP ... (PEND-1)"
Post a Comment